Featured

Saya selalu percaya bahwa setiap kejadian yang menimpa saya adalah sebuah pesan dari Allah untuk saya yang lebih baik. Pemaknaan di setiap kejadian bagi saya menjadi suatu rutinitas yang istimewa. Tiada yang lebih indah dari sebuah cerita yang dimengerti apa pesannya :)273401_1702485402_2224678_n

❤️

Bagiku, membersamaimu itu seperti sedang berburu di tengah hutan tanpa senapan. Kita bisa saja bertemu serigala atau macan, tapi kita sama-sama bertekad untuk menjadikan mereka teman, tak akan melawan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana kamu berjuang sepanjang malam. Merumuskan masa depan dengan dahi yang tak berhenti berkerut. Membicarakan berbagai hal yang terkadang tak masuk dalam nalar. 

Sesuatu dalam pikiranmu seperti melampaui batas imajinasi. Sebab itu aku hanya mampu menatap matamu ketika bait-bait kalimatmu sulit aku pahami. Aku hanya ingat Sayyidati Khodijah yang setia mendengarkan Rosululloh berkisah tentang segala apa yang bahkan beberapa di antaranya ada yang tak masuk logika manusia. Lalu tanpa ragu mendukung penuh suaminya dengan segenap jiwa dan raganya. Kamu selalu berkata bahwa temanmu hanya aku. Maka aku pun tak menolak karena merasa serupa. Di luar sana mungkin banyak yang menganggapmu “gila”, tapi sebagai istrimu, aku pastikan bahwa satu dukungan dariku sangat mampu menepis segala gila

Kamu benar, manusia tidak akan bertumbuh tanpa dukungan. Manusia tidak akan berkembang tanpa penerimaan. Maka, atas dasar dukungan dan penerimaanku atas segalamu, jangankan serigala dan macan, awan kemerahan yang memuntahkan lahar sebagai hujan pun, akan kita ajak berteman. 

Selamat ulang tahun, Suamiku, Sang Budi Mulyawan ❤️

Sang Pengibar Dari Tegal

Moco -ism

Sang Pengibar

SINOPSIS

Ini adalah sebuah kisah sederhana dari sebuah kota kecil istimewa, Tegal, Jawa Tengah. Tidak banyak orang tahu bahwa di kota kecil itu, kakek tua yang nasionalis telah berhasil menurunkan rasa cinta tanah air kepada cucunya, Latief Hendraningrat. Sejak kecil, Latief biasa meilihat Mbah Karman menaikkan dan menurunkan bendera merah putih di halaman rumahnya.

Latief sangat mencintai bendera, cita-citanya pun sederhana: ingin jadi pengibar bendera pusaka. Tugas hariannya mengangsu ‘menimba air dari sumur’ kolam dijadikan sarana latihan mengibarkan bendera. Ia berimajinasi, karet timba yang sedang dikereknya itu ibarat tali pada tiang bendera, betapa kreatifnya. Namun, sangat disayangkan, postur tubuhnya yang pendek membuatnya gagal menjadi pasukan pengibar bendera di sekolahnya. Tapi semangat dan kecintaannya meluluhkan hati pelatih untuk mengikutsertakannya sebagai pasukan 45, menempatkannya di barisan paling akhir.

Akan tetapi, untuk menjadi pasukan pengibar bendera tingkat kota, tekad dan cinta besar Latief tak mampu meloloskannya. Menjadi pengibar bendera bukan tentang siapa yang…

View original post 216 more words

Yasudahlah

Hari ini seharusnya saya mengikuti raker NF melalui zoom meetings. Semua sudah dipersiapkan, tapi anak saya kok ya gak bisa diajak kerja sama. Maunya ikut “tunyuk-tunyuk” laptop sama nanyain satu-satu siapa orang-orang yang fotonya nongol di laptop saya. Riweh sekali. Kebetulan memang sedang berdua saja dengan si bocil ini. Ditambah, kondisi saya yang sedang hamil tua membuat mood saya jadi tak terkendali. Sama satu lagi, sinyal di rumah juga amat sangat tidak bersahabat.

Jadi, yasudahlah. Saya putuskan matikan laptop saja daripada senewen dan malah jadi tak menikmati hidup hari ini. Toh, materi raker hari ini juga kebetulan tidak saya ampu semester depan.

“Ibu ndak lapat lagi?” tanya Atiq.

“Engga, ibu rapat sama Atiq aja. Ayo kita selfii”

😄

Catatan tentang Tiga Tahun Pernikahan

Rasanya baru kemarin, ketika malu-malu kupakai cincin pemberianmu. Lalu seperti tiba-tiba, kau masuk ke rumahku sudah tak lagi sebagai temanku. Rasanya baru kemarin, saat hujan tanpa guntur sekejap turun begitu doa walimah selesai digaungkan, lalu bola matamu seolah berbisik lirih, semoga langit merestui pernikahan ini. 

Rasanya baru kemarin, ketika hari-hari menjadi begitu sulit dimengerti karena kita sama-sama gagap dalam sukacita menyambut sosok mungil yang kehadirannya sekejap mengubah panggilan sayang di antara kita: menjadi ibu dan abah.

Rasanya baru kemarin, ketika kita sama-sama menginjak kerikil yang ujung-ujungnya hampir membuat kita menangis, lalu kita sama-sama menebalkan alas kaki untuk kemudian memutuskan melanjutkan perjalanan. Rasanya baru kemarin, ketika hari demi hari yang sulit dan pekat itu kita dilalui dengan niat sunnah nabi. “Dapur Nabi pernah tidak ngebul tiga hari. Kesulitan ini belum ada apa-apanya.” begitu kau menabahkanku. Mencecap segala bentuk kesukaran demi kebaikan-kebaikan yang kita yakini. Masih teringat jelas sekalimat yang keluar dari lisanmu: penderitaan yang disimpan rapat-rapat, kelak kan menjelma taman bunga.

Rasanya baru kemarin, ketika pelan-pelan kita merangkak menyusuri sudut-sudut hutan yang terasa tak layak ditinggali. Ketika kamu dengan mata berbinar-binar, membanggakan seonggok rumah yang kita bangun dengan keringat kita sendiri. Meski sendiri di tengah ladang, tapi kita tak sekalipun merasa kesepian. Gelak syukur senantiasa menyeruak dari senyum manis anak kita yang menampilkan gigi-gigi gupisnya, tanda gizinya tak tercukupi dengan baik sewaktu kecil dulu. Sebagaimanapun, hari-hari itu adalah hari yang teramat indah untuk dikenang.

Rasanya baru kemarin, ketika lisanmu kembali berujar tentang kita yang sewaktu-waktu harus terjaga dan kembali siap melangkah ke mana saja. Lalu kita tiba-tiba saja sudah kembali ke tanah kelahiran kita, sedikit menyesali kenapa kita tak bisa lebih lama lagi menikmati gubug sederhana di tengah hutan itu. Tapi tak juga sedikitpun mampu mengutuki jalan takdir yang membawa kita kembali ke sini.

Entah akan berapa tanah lagi yang akan kita tapaki. Entah berapa tangis lagi yang kelak kita syukuri. Entah berapa rindu lagi yang kita jalani. Perjalanan ini sungguh seperti rinai merpati. Bahwa ke mana pun aku dan kamu pergi, kepada kita kelak kembali. Aku tempat kembalimu, engkau tempat kembaliku. Sampai esok dan esoknya lagi, tetaplah seperti itu, Suamiku ❤️

Syukur

Hidup itu rangkaian syukur dan sabar. Jika mendapat nikmat, kita bersyukur. Jika tiba ujian, kita bersabar. Idealnya hidup memang seperti itu, kan? Tapi manusia amat jarang menganggap hidupnya ideal. Ada saja yang kurang. Ada saja yang bikin resah.

Apalagi kalau sudah tengok kiri kanan. Gerah banget pasti si hati. Tahu, gak? Apa hal paling buruk yang dilakukan manusia? Menilai orang lain dengan kacamatanya sendiri. Bahasa milenialnya “menghakimi” tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Padahal, manusia itu udah ada rezekinya sendiri-sendiri. Konsep rezeki juga luas banget banget. Gak cuma sekadar usaha, jabatan, rumah mewah, atau harta berlimpah. Kita sedang baik-baik saja itu ya rezeki. Sehat, bisa kumpul sama keluarga, punya kesempatan leha-leha di depan tipi, bisa jalan atau motor-motoran dengan happy walau duit paspasan, itu rezeki lho! Bahkan bisa kentut dan BAB aja rejeki, kan? Kemarin-kemarin, anak saya konstipasi dan kudu pake micr*lax  dulu baru bisa keluar tuh ta*. Dua puluh lima ribu sekali pup. Coba bayangin kalau selama kita pup bayar segitu?

Satu hal yang seringkali terlupakan tentang syukur: kesempatan. Berkesempatan (apa saja) seharusnya bisa membuat kita bersyukur. Kesempatan hidup, kesempatan tumbuh dewasa, kesempatan sekolah, kuliah, menikah, punya anak, punya orangtua yang masih sehat, serta kesempatan merasakan nikmat dan ujian. Kita diberi kesempatan melalui semua itu, kesempatan yang tak sama dengan yang diberikan kepada orang lain. Itu rezeki.